Rabu, 07 November 2012

ANDILAU (PACARAN ATAU TA’ARUF ......????)



ANDILAU
(PACARAN ATAU TA’ARUF ......????)
November 5, 2012

ANDILAU (ANtara DIlema dan gaLAU), itulah kata-kata baru yang sering mengganggu dan berterbangan di pikiranku sejak pertengahan tahun ini.  Disebut pacaran nggak mau, tapi di sebut ta’aruf nggak juga. Sebagai korban percintaan, aku benar-benar  merasa terpukul harus menerima kenyataan ini. Ada rasa-rasa tidak percaya bahwa aku pernah menyandang gelar yang tidak enak untuk di dengar itu “mantan pacar”.  Sungguh benar-benar beban yang harus ku pikul sendiri karena sadar kalau ini memang ulah ku juga. Sampai-sampai keluar ikrar janji pada diri sendiri untuk menyendiri dan menenangkan pikiran tanpa mengenal yang namanya laki-laki (menutup diri dari laki-laki untuk sementara waktu).
Lama kelamaanpun penyesalan itu bisa dikurangi berkat nasehat dan anjuran dari beberapa orang termasuk tekad dari diri sendiri yang berjanji untuk merubah sikap dan tindakan. Setelah memudarnya penyesalan tersebut,aku sudah mulai berani membuka diri lagi untuk laki-laki. Aku sudah berjanji untuk tidak pacaran seperti dulu lagi. Bahkan kalau bisa, tak ada lagi yang namanya pacaran, yang ada hanya pacaran yang sah dan halal,pastinya setelah menikah. Sempat aku berpikir kalau dekat dengan seseorang, apalagi yang berkaitan dengan perasaan, aku inginnya langsung ta’aruf saja. Aku tahu kalau yang namanya ta’aruf itu bukanlah sebuah proses main-main yang memakan waktu lama dalam mengenal kepribadian lawan jenis, tapi itu sudah merujuk kepada tingkat yang lebih serius, yaitu menikah. Jika hati kecil tidak menerima kehadirannya maka di tolak saja dan cari calon yang lain, tapi jika hati kecil merasa cocok dan bisa menerimanya, maka terimalah lamarannya.
Jauh beda dan berbanding terbalik sekali antara ta’aruf dengan pacaran. Yang namanya pacaran, tidak pernah mengenal keseriusan. Pacaran hanya dikuasai oleh nafsu saja, tidak mempertimbangkan suatu hal dengan akal pikiran yang sehat, hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nafsu saja, hanya sebagai tempat untuk mencoba-coba mengenal lawan jenis lebih dekat, hanya menambah dosa dan kemurkaan Allah pada kita, hanya sebagai tempat para kumbang mengisap madu bunga dan setelah itu bunga tersebut diabaikan, dan hanya membuang waktu dan pikiran saja untuk memikirkan si Dia yang belum tentu mau bertanggung jawab atas semua tindakannya dan merangkul perempuan tersebut untuk menjadi pendamping hidupnya dunia akhirat.
Sekarang yang menjadi penyebab kegalauan itu, sebenarnya aku berada di posisi yang mana? Posisi pacarankah atau posisi ta’aruf. Itulah yang membuat aku bingung dan galau sebenarnya. Aku merasa belum mendapatkan jawaban yang pas dan memuaskan. Setiap detik dan setiap saat, pikiranku terus dibawa melayang apakah tindakanku ini disebut pacaran atau ta’aruf. Jika di bilang pacaran, aku tidak mau menggenggam erat tangannya setiap bertemu, aku tidak mau memeluk ataupun di peluknya, aku tidak mau boncengan dengannya, dan akupun tidak mau melakukan yang lebih parah dari itu seperti kiss dan sebagainya. Walaupun begitu kalau di bilang ta’aruf pun sepertinya tidak benar juga. aku tidak mendengar kata “melamar” darinya, aku tidak pernah di beri tanggal, bulan dan tahun yang jelas kapan dia mau menikahiku, aku pun masih belum melihat keyakinan dalam dirinya untuk menikahi ku. Semuanya serba tergantung dan kabur.
Di samping itu, belum lagi hal yang menjadi dilema bagiku. Haruskah aku tetap bersamanya dalam kondisi seperti ini atau sebaiknya aku meninggalkannya dan mengubah hidupku seperti 2 tahun yang lalu?. Aku tidak mungkin menarik janjiku dulu untuk menjadi temannya dan sekaligus pembimbing 3 nya. Aku tahu kalau itu janjiku sendiri untuk tidak meninggalkan anak bimbinganku sampai mereka semua merasakan kesenangan sesaat ketika memakai toga. Tapi anehnya, hati dan perasaan ini tidak bisa dibohongi jika terus bersamanya. Rasanya ingin terus bersamanya dan saling berbagi cerita tentang semua yang dirasakan. Satu hari saja tanpa komunikasi, hati ini sudah merasa rindu, aneh dan tidak tenang lagi. Sempat terpikir kalau itu tidak boleh terjadi pada diriku karena yang kulakukan itu bisa saja tergolong ke dalam istilah pacaran tadi.  Jadi apa yang sebaiknya ku lakukan? Haruskah aku meninggalkan dirinya sementara tanggung jawab ku sebagai pembimbing belum selesai, ataukah aku tetap bersamanya dengan menahan perasaan yang membuat pikiranku kacau tak menentu begini? Duuhhh....benar-benar membuat kepala dan otak ini harus bekerja keras mempertimbangkan baik buruknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar