ANDILAU
(PACARAN ATAU TA’ARUF ......????)
November 5, 2012
ANDILAU (ANtara DIlema dan gaLAU), itulah
kata-kata baru yang sering mengganggu dan berterbangan di pikiranku sejak
pertengahan tahun ini. Disebut pacaran
nggak mau, tapi di sebut ta’aruf nggak juga. Sebagai korban percintaan, aku
benar-benar merasa terpukul harus
menerima kenyataan ini. Ada rasa-rasa tidak percaya bahwa aku pernah menyandang
gelar yang tidak enak untuk di dengar itu “mantan pacar”. Sungguh benar-benar beban yang harus ku pikul
sendiri karena sadar kalau ini memang ulah ku juga. Sampai-sampai keluar ikrar
janji pada diri sendiri untuk menyendiri dan menenangkan pikiran tanpa mengenal
yang namanya laki-laki (menutup diri dari laki-laki untuk sementara waktu).
Lama kelamaanpun penyesalan itu bisa
dikurangi berkat nasehat dan anjuran dari beberapa orang termasuk tekad dari
diri sendiri yang berjanji untuk merubah sikap dan tindakan. Setelah memudarnya
penyesalan tersebut,aku sudah mulai berani membuka diri lagi untuk laki-laki.
Aku sudah berjanji untuk tidak pacaran seperti dulu lagi. Bahkan kalau bisa,
tak ada lagi yang namanya pacaran, yang ada hanya pacaran yang sah dan halal,pastinya
setelah menikah. Sempat aku berpikir kalau dekat dengan seseorang, apalagi yang
berkaitan dengan perasaan, aku inginnya langsung ta’aruf saja. Aku tahu kalau
yang namanya ta’aruf itu bukanlah sebuah proses main-main yang memakan waktu
lama dalam mengenal kepribadian lawan jenis, tapi itu sudah merujuk kepada
tingkat yang lebih serius, yaitu menikah. Jika hati kecil tidak menerima
kehadirannya maka di tolak saja dan cari calon yang lain, tapi jika hati kecil
merasa cocok dan bisa menerimanya, maka terimalah lamarannya.
Jauh beda dan berbanding terbalik sekali
antara ta’aruf dengan pacaran. Yang namanya pacaran, tidak pernah mengenal
keseriusan. Pacaran hanya dikuasai oleh nafsu saja, tidak mempertimbangkan
suatu hal dengan akal pikiran yang sehat, hanya bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan nafsu saja, hanya sebagai tempat untuk mencoba-coba mengenal lawan
jenis lebih dekat, hanya menambah dosa dan kemurkaan Allah pada kita, hanya
sebagai tempat para kumbang mengisap madu bunga dan setelah itu bunga tersebut
diabaikan, dan hanya membuang waktu dan pikiran saja untuk memikirkan si Dia
yang belum tentu mau bertanggung jawab atas semua tindakannya dan merangkul
perempuan tersebut untuk menjadi pendamping hidupnya dunia akhirat.
Sekarang yang menjadi penyebab kegalauan
itu, sebenarnya aku berada di posisi yang mana? Posisi pacarankah atau posisi
ta’aruf. Itulah yang membuat aku bingung dan galau sebenarnya. Aku merasa belum
mendapatkan jawaban yang pas dan memuaskan. Setiap detik dan setiap saat, pikiranku
terus dibawa melayang apakah tindakanku ini disebut pacaran atau ta’aruf. Jika
di bilang pacaran, aku tidak mau menggenggam erat tangannya setiap bertemu, aku
tidak mau memeluk ataupun di peluknya, aku tidak mau boncengan dengannya, dan
akupun tidak mau melakukan yang lebih parah dari itu seperti kiss dan
sebagainya. Walaupun begitu kalau di bilang ta’aruf pun sepertinya tidak benar
juga. aku tidak mendengar kata “melamar” darinya, aku tidak pernah di beri
tanggal, bulan dan tahun yang jelas kapan dia mau menikahiku, aku pun masih
belum melihat keyakinan dalam dirinya untuk menikahi ku. Semuanya serba
tergantung dan kabur.
Di samping itu, belum lagi hal yang menjadi
dilema bagiku. Haruskah aku tetap bersamanya dalam kondisi seperti ini atau
sebaiknya aku meninggalkannya dan mengubah hidupku seperti 2 tahun yang lalu?.
Aku tidak mungkin menarik janjiku dulu untuk menjadi temannya dan sekaligus
pembimbing 3 nya. Aku tahu kalau itu janjiku sendiri untuk tidak meninggalkan
anak bimbinganku sampai mereka semua merasakan kesenangan sesaat ketika memakai
toga. Tapi anehnya, hati dan perasaan ini tidak bisa dibohongi jika terus
bersamanya. Rasanya ingin terus bersamanya dan saling berbagi cerita tentang
semua yang dirasakan. Satu hari saja tanpa komunikasi, hati ini sudah merasa
rindu, aneh dan tidak tenang lagi. Sempat terpikir kalau itu tidak boleh
terjadi pada diriku karena yang kulakukan itu bisa saja tergolong ke dalam
istilah pacaran tadi. Jadi apa yang
sebaiknya ku lakukan? Haruskah aku meninggalkan dirinya sementara tanggung
jawab ku sebagai pembimbing belum selesai, ataukah aku tetap bersamanya dengan
menahan perasaan yang membuat pikiranku kacau tak menentu begini? Duuhhh....benar-benar
membuat kepala dan otak ini harus bekerja keras mempertimbangkan baik buruknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar